Museum House of Sampoerna


Bangunan megah yang berdiri di atas tanah seluas 1,5 hektar itu, dulunya bekas asrama panti asuhan yatim piatu. Kini, House of Sampoerna berkembang menjadi ikon kota yang berdiri perkasa. 

Melangkahkan kaki masuk ke sebuah ruangan berlantai dua, yang disebut sebagai museum House of Sampoerna. Pengunjung langsung disapa dengan aroma tembakau yang menyeruak di ruang depan.

Setelah itu, kita dapat menyaksikan benda-benda milik keluarga Sampoerna yang kaya akan sejarah. Mulai dari foto sang pendiri perusahaan rokok ternama, Liem Seeng Tee bersama keluarga, pabrik, hingga para pekerja, dan masih banyak benda-benda bersejarah lainnya.

Tak berhenti di situ saja, di ruangan yang dulu pernah menjadi tempat bioskop ini. Kita dapat melihat dari dekat fasilitas produksi rokok linting tangan, dan berakhir dengan pengalaman tak terlupakan melinting sendiri sebatang rokok.

Di sini Anda dapat bergabung dengan sebanyak 3.200 wanita yang melinting rokok dengan alat tradisional. Mereka melakukannya dengan kecepatan lebih dari 325 batang rokok per jam.

Sedangkan untuk membedakan tugas yang dilakukan para pekerja wanita itu, dapat dibedakan dari topi yang mereka pakai. Topi merah bertugas untuk pelintingan rokok, atau biasa disebut Sigaret Kretek Tangan (SKT). Dalam menjalankan tugasnya si topi merah ditarget per orang harus menghasilkan minimal 3250 batang rokok.

Lalu kedua, topi hitam bertugas untuk pengguntingan rokok. Dalam menjalankan tugasnya, diberi tanggung jawab harus menghasilkan tiga kali batang rokok dari si topi merah.

Dan, yang ketiga adalah topi kuning, bertugas untuk pengepakan rokok. Dalam menjalankan tugasnya, si topi kuning harus mampu menghasilkan 2.000 bungkus rokok per hari.

Di toko museum House of Sampoerna (HoS) menawarkan berbagai macam cindera mata. Seperti miniature alat linting rokok tradisional, paket cengkeh, buku-buku menarik, kaos, dan masih banyak lainnya.

Kondisi inilah yang mampu menarik perhatian pengunjung. Mereka datang tak hanya dari dalam kota, melainkan juga dari luar kota, luar propinsi, bahkan sampai dari luar negeri.

Seperti yang dikatakan Rani Anggraini, Marketing Manager Hos, sejak HoS resmi dibuka pada 9 Oktober 2003 lalu, tercatat sudah lebih dari 60-an negara luar yang berkunjung ke sini. Negara luar itu antara lain, Malaysia, Taiwan, Singapura, Jepang, Inggris, Belanda, Prancis, Amerika, Australia, Italia, Jerman, dan lainnya.

Pemandangan ini sudah biasa ditemui di sini. Dan hampir setiap hari selalu ada pengunjung yang datang. Itupun belum lagi pas akhir pekan atau liburan datang. Jumlahnya bisa meledak bukan kepalang. ”Karena HoS terbuka untuk siapa saja dan mereka yang datang tanpa dipungut biaya, kecuali di cafe” kata Rani lagi sembari tersenyum.

Sebagian pengunjung yang datang terus bergumam kagum, diantaranya keheranan. Salah satu dari mereka tak henti mengelilingi setiap sudut bangunan yang bergaya arsitektur Belanda kuno itu.

Seperti yang diungkapkan Roni Albertinus, 41 tahun, pengusaha asal Jakarta pada EastJava Traveler. ”Bentuk bangunannya yang bikin saya selalu penasaran, selain itu kekayaan akan nilai sejarah dan aspek edukasi yang ditawarkan sungguh besar,” ujarnya.

Benar adanya, di dalam bangunan yang berada di Taman Sampoerna 6, Surabaya itu, dari segi bentuk memang masih asli dari dulu. Kalaupun butuh pembenahan, hanya sekedar perawatan-perawatan biasa saja tanpa harus merombak keasliannya.

Pilar-pilar menjulang berdiri kokoh bersanding dengan kemegahan tembok dalam setiap ruang. Kaca bergaya mozaik berkemilau. Atap bevel yang menjadi kekhasan gaya Belanda menghias indah, berpadu dengan lampu-lampu kuno. Tak salah bila arsitekturnya yang cantik dan menawan ini, HoS meraih penghargaan dari Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI), melalui kategori bangunan berarsitektur penuh gaya klasik.

0 komentar:

Posting Komentar